EKSISTENSI DELIK ADAT DALAM KASUS PENGHINAAN TERHADAP TEMPAT IBADAH OLEH PEMILIK AKUN TIKTOK FARAS SAYIDI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT BALI
Main Article Content
Abstract
ABSTRAK
Delik adat ialah suatu tindakan yang melanggar perasaan dan kepatutan hidup dalam masyarakat, oleh karena itu mengakibatkan terganggunya ketentraman yang untuk memulihkannya kembali, terjadi reaksi-reaksi adat sebagai wujud pengembalian ketentraman magis yang terganggu. Beberapa delik hukum ada dapat diklasifikasikan ke dalam delik-delik terhadap harta beda, kepentingan orang banyak, kepentingan pribadi seseorang, dan pelanggaran lainnya yang bersifat ringan. Salah satu bentuk delik kepentingan orang banyak salah satunya ialah penistaan terhadap simbol agama yang juga merupakan delik penghinaan yang diatur dalam Pasal 156a KUHP. Pada praktiknya, penerapan pasal dalam KUHP belum efektif dan malah memunculkan persoalan- persoalan baru karena sulitnya untuk memberikan penjelasan terkait kualifikasi perbuatan penodaan agama serta cara pembuktiannya. Baru-baru ini terjadi kasus dimana seorang pemilik akun tiktok dengan nama Faras Sayidi menguggah foto melakukan pose jari tengah di depan tempat ibadah umat Hindu di Bali, masyarakat menganggap hal tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol agama dan adatnya. Terkait hal tersebut kemudian penulis tertarik untuk membahas eksistensi delik adat yang lebih dekat dengan nilai-nilai religius dan magis dalam penyelesaian kasus yang tersebut. . Melalui penelitian secara yuridis normatif ini, penulis berfokus pada analisis kaidah norma hukum yang ada dalam masyarakat dan doktrin-doktrin hukum, serta mengkaji kasus hukum yang terjadi dan terkait dengan penerapan delik adat secara kasuistis.
Kata Kunci: Delik Adat, Penghinaan Agama, Masyarakat Adat Bali
ABSTRACT
Customary delict is an act that violates the feelings and decency of life in society, therefore it results in a disturbance of tranquility which, to restore it, occurs customary reactions as a form of restoring the disturbed magical tranquility. Several legal offenses can be classified into offenses against property, the interests of the public, one's personal interests, and other minor violations. One form of delict in the interests of many people is blasphemy against religious symbols which is also an insult offense regulated in Article 156a of the Criminal Code. In practice, the application of the articles in the Criminal Code has not been effective and instead raises new problems because it is difficult to provide an explanation regarding the qualifications for the act of blasphemy and how to prove it. Recently there was a case where a tiktok account owner by the name of Faras Sayidi uploaded a photo holding the middle finger pose in front of a place of worship for Hindus in Bali, the community considers this a form of insult to their religious symbols and customs. Related to this, the authors are interested in discussing the existence of customary offenses that are closer to religious and magical values in solving these cases. . Through this normative juridical research, the authors focus on the analysis of legal norms that exist in society and legal doctrines, as well as examine legal cases that occur and are related to the application of casuistry of customary offenses.
Keywords: Indigenous Offenses, Religious Contempt, Balinese Indigenous Peoples
Downloads
Article Details
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
References
REFERENSI
Peter de Cruz, “Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, and Socialist Law”, Nusa Media: Bandung, 2010.
Aditya Firma dan Yulistyaputri, “Romantisme Sistem Hukum Di Indonesia: Kajian Atas Konstribusi Hukum Adat Dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Di Indonesia”, Jurnal RechtsVinding, Vol. 8 No. 1, April 2019.
Farid, Zainal. Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
I Gusti Ketut Ariawan, Eksistensi delik hukum adat Bali dalam rangka pembentukan, hukum pidana nasional : suatu pendekatan yuridis dengan perspektif sosiologis penelitian di desa adat Denpasar, Tesis Universitas Indonesia, 1992.
Wignodipuro, Soerojo. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, PT Alumni: Bandung, 1979. Diah Gayatri Sudibya, dkk.“Penerapan Sanksi Adat dalam Penistaan Tempat Suci di Desa Padang
Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar”, KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa. 15 (1), 2021.
Nawawi, Barda. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. (Yogyakarta; Genta Publishing, 2010.
Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Mulyadi, Lilik. “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia : Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013.
Wiryani, Fifik. Reformasi Hak Ulayat, Pengaturan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Setara Press, Malang, 2005.
Oviana, Rurri. Kedudukan Hukum Pidana Adat Bali Terkait Pelanggaran Delik Adat Gamia Gamana Menurut Hukum Pidana Nasional Dalam Perspektif Kepastian Hukum, Skripsi Universitas Pasundan, 2019.
Hadikusuman, Hilman. Hukum Pidana Adat, CV Rajawali, Jakarta, 1961.
Chazawi, Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaan (Penyerangan terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Nama Baik Orang Bersifat Pribadi dan Komunal). Malang: TS Pres-PMM. 2010.
Ayu Wulandari, Roy Ronny, dan Sumampouw. “Perbandingan Pengaturan Ketentuan Penghinaan Dalam KUHP dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, Jurnal Lex Privatum Vol. IX/No. 5, 2021.
Marpaung, Leden. Tindak Pidana terhadap Kehormatan. Sinar Grafika. Jakarta, 2010.
Ardiyasa dan Ida Bagus Gede Paramita, ATURAN BERPRILAKU DI TEMPAT SUCI MENURUT LONTAR KR AMAPURA, Pariksa, Jurnal Hukum Agama Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 2020.
Niluh Djelantik 'Labrak' Wanita Rambut Pirang yang Diduga Lecehkan Pura di Bali, Media Online Yoursay.id, https://yoursay.suara.com/news/2023/02/21/125616/niluh-djelantik-labrak- wanita-rambut-pirang-yang-diduga-lecehkan-pura-di-bali diakses pada tanggal 13 Maret 2023.